Wednesday 14 October 2015

Siasat orang kecil


Saya dilahirkan di sebuah keluarga besar yang sangat sangat sederhana. Kami, tujuh bersaudara, orang tua kami adalah dari golongan buruh kasar. Ayahku sampai sekarang (yang seharusnya sudah pensiun seandainya dia pegawai negeri) masih bekerja sebagai tukang besi di proyek-proyek ketika ada panggilan, sementara ibuku belum lama menemukan kembali bakat wiraswastanya setelah lama memburuh, beliau sekarang membuka usaha warung sarapan di rumah kami satu-satunya.

Sejarah keluarga kami bukanlah sejarah orang besar yang bergelimang kesuksesan, sehingga tak menarik untuk dicatatkan. Namun semua keadaan yang serba kekurangan itu membuat kami tahan banting. Terbukti beberapa dari kami mampu menyiasati keadaan. Empat dari kami mendapatkan keberuntungan ikut merasakan indahnya dunia perguruan tinggi, seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Sesuatu yang belum bahkan tak pernah dibayangkan oleh kedua orang tua kami, ayahku cuma lulusan SMEP (sekelas SMK mungkin) sementara ibuku cuma lulus SD (sebuah kewajaran pada generasinya).

Di sebuah negara yang kaya raya alamnya, pendidikan masih barang yang sangat mahal sekali. Orang-orang seperti kami musti berjuang lebih keras dari biasanya untuk bisa bersekolah jika dibandingkan dengan anak-anak para pembesar, para pembuat kebijakan, yang menentukan nasib semua penduduk negeri.
Konon kabarnya anggaran pendidikan di apbn sudah mencapai 20 persen, tapi kenapa biaya pendidikan malah makin membumbung tinggi?.. (sebuah pertanyaan bodoh yang sulit dijawab dengan pintar).
Para pendukung Orde Baru makin tertawa terbahak-bahak menyaksikan dunia pendidikan saat ini. Banyak sekali bahkan hampir sebagian besar anak para pembesar bersekolah diluar negeri yang biayanya sangat-sangat minimal bahkan bisa dikatakan gratis jika dibandingkan dengan biaya pendidikan di dalam negeri. Kenapa mereka tidak berupaya membuat undang-undang yang menjamin semua warga negara tanpa kecuali memperoleh pengetahuan secara cuma-cuma? Apa yang mereka takutkan jika semua orang cerdas dari semua golongan mempunyai kesempatan yang sama?
Apakah mereka para pembuat kebijakan itu takut, akan terlalu banyak orang pintar lagi yang akan kritis?
Seperti ada sesuatu yang selalu ditutup-tutupi, agar keadaan tetap stabil alias tak bergerak.
Apa karena mereka takut bahwa ada sesuatu yang besar akan terbongkar jika semua orang jadi lebih cerdas dari biasanya? seperti iklan rokok yang dulu sempat populer: Tanya Kenapa?

apropo: ayahku adalah perokok berat, beruntung hanya satu anaknya yang mengikuti kebiasaan beliau. Kesehatan bukanlah yang utama kenapa kami menghindari rokok, melainkan perhitungan matematika. Jika merokok, kami hanya membakar hidup-hidup uang kami, yang jumlahnya sangat sedikit itu, demi mengepulkan asap melalui mulut. Hemat kami lebih baik uang itu dipakai untuk menjaga stabilitas dapur agar selalu tetap mengepul atau menabung untuk pendidikan.

No comments:

Post a Comment